Hari itu, aroma bumbu tumis menyeruak dari lapangan sekolah. Bunyi wajan beradu dengan spatula bersahut-sahutan dengan tawa siswa yang saling bekerja sama. Di salah satu sudut, ada kelompok yang sedang serius memotong daun pisang untuk alas sajian, sementara kelompok lain sibuk menjelaskan asal-usul makanan khas daerah kepada pengunjung. Suasana SMA kami mendadak seperti festival kecil yang penuh warna dan cita rasa.
Semua itu adalah bagian dari Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) bertema Masakan Nusantara, yang kami beri judul "Rasa Nusantara, Cita Bangsa." Sebuah perjalanan belajar yang berbeda, yang mengajak kami untuk mengenal budaya lewat rasa.
Dari rasa jadi rasa bangga tentunya Projek ini bukan sekadar ajang memasak. Ini adalah proses penuh makna yang dimulai dari diskusi di ruang kelas, lalu berkembang menjadi petualangan budaya. Setiap kelompok memilih satu makanan tradisional dari berbagai daerah di Indonesia. Ada yang memilih papeda dari Papua, sate Maranggi, hingga sate lilit dari Bali. Kami tak hanya mencari resepnya, tapi juga makna di balik setiap racikan bumbu: tentang sejarah, nilai gotong royong, bahkan filosofi hidup masyarakat daerah tersebut.
Proses yang mengikat, rasa yang menyatukan selama beberapa hari, kami belajar banyak hal. Kami meriset bahan-bahan lokal, berdiskusi soal teknik memasak tradisional, dan menyusun proposal kegiatan layaknya tim profesional. Tapi yang paling mengesankan adalah saat hari pelaksanaan “Gelar Karya”. Semua kelompok memamerkan hasil karya mereka. Kami memasak langsung di sekolah, menyusun booth pameran, bahkan melakukan presentasi budaya kepada dewan juri dan para pengunjung yang datang. Suasana begitu hidup seperti mini Indonesia dalam satu lingkungan sekolah.
Dari proyek ini, kami tidak hanya belajar memasak. Kami belajar mendengar pendapat teman, membagi tugas, menghadapi tantangan saat bahan yang dicari susah didapat, dan mengatasi konflik kecil dalam tim. Kami belajar untuk tidak menyerah ketika rasa masakan pertama belum sesuai harapan. Tapi di situlah letak pembelajaran sejatinya: kerja sama, tanggung jawab, dan kreativitas tumbuh di antara kami, seperti bumbu yang meresap perlahan namun dalam.
Refleksi yang mengendap tentunya di akhir proyek, kami duduk bersama guru dan teman-teman untuk merefleksikan proses ini. Banyak yang berkata: “Ternyata masakan juga bisa bercerita.” Ada yang bangga bisa memperkenalkan masakan khas daerah asalnya, ada yang kagum dengan kekayaan kuliner Indonesia yang belum pernah mereka coba sebelumnya.
“Rasa Nusantara, Cita Bangsa” bukan hanya tentang makanan. Ini adalah tentang mengenal siapa diri kita sebagai bagian dari bangsa yang besar dan kaya. Dari dapur sederhana di sekolah, kami belajar bahwa rasa bisa menyatukan, dan dari rasa pula lahir rasa cinta pada budaya, pada kebersamaan, dan pada Indonesia.